idfakta.com – NEW YORK, Wall Street ditutup anjlok pada perdagangan Jumat (17/3/2023) waktu setempat atau Sabtu (18/3/2023) dini hari WIB. Penurunan tajam Wall Street dipicu kekhawatiran investor terhadap krisis perbankan AS dan kemungkinan resesi.
Mengutip Reuters, Indeks Dow Jones Industrial Average turun 384,57 poin atau 1,19 persen di level 31.861,98. Indeks S&P 500 terkoreksi 43,64 poin atau 1,10 persen menjadi 3.916,64. Indeks Komposit Nasdaq merosot 86,76 poin atau 0,74 persen ke 11.630,51.
Semua 11 sektor utama S&P 500 mengakhiri sesi di zona merah. Ketiga indeks mengakhiri sesi jauh di wilayah negatif, dengan saham keuangan turun paling banyak di antara sektor utama S&P 500.
Selama dua minggu terakhir, indeks S&P Banking dan indeks KBW Regional Banking anjlok masing-masing sebesar 4,6 persen dan 5,4 persen, penurunan dua minggu terbesar sejak Maret 2020.
First Republic Bank anjlok 32,8 persen, setelah bank mengumumkan penangguhan dividennya, membalikkan lonjakan Kamis (16/3/2023) yang dipicu oleh paket penyelamatan 30 miliar dolar AS yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lembaga keuangan besar.
Di antara rekan-rekan First Republic, PacWest Bancorp terpuruk 19,0 persen, sementara Western Alliance terjungkal 15,1 persen. Saham Credit Suisse yang diperdagangkan di AS juga ditutup melemah tajam, jatuh 6,9 persen.
Sementara SVB Financial Group mengumumkan akan mencari perlindungan kebangkrutan Bab 11. Hal itu, menjadi perkembangan terbaru dari kebangkrutan Silicon Valley Bank dan Signature Bank, yang memicu kekhawatiran penularan di seluruh sistem perbankan global.
Analis mengkritisi aksi jual saham perbankan yang dilakukan investor. Oliver Pursche, Wakil Presiden senior di Wealthspire Advisors di New York, menilai aksi jual terhadap saham perbankan sedikit berlebihan.
“(Aksi jual) sedikit reaksi berlebihan, namun ada validitas untuk beberapa kekhawatiran terkait likuiditas secara keseluruhan dan potensi krisis likuiditas,” ujar Oliver Pursche, seperti dikutip Reuters, Sabtu (18/3/2023).
Kekhawatiran itu telah menyebar ke Eropa, ketika saham Credit Suisse tersandung akibat kekhawatiran likuiditas, mendorong para pembuat kebijakan berebut untuk meyakinkan pasar.
“Ini jauh lebih jauh dari sekadar penarikan dana besar-besaran di SVB atau First Republic, ini menuju ke dampak nyata kenaikan suku bunga ini terhadap modal dan neraca. Dan Anda melihatnya berdampak pada institusi besar seperti Credit Suisse, dan itu membuat orang bingung,” ungkap Oliver Pursche.
Investor sekarang mengalihkan pandangan mereka ke pertemuan kebijakan moneter dua hari Federal Reserve minggu depan. Mengingat perkembangan terakhir di sektor perbankan dan data yang menunjukkan pelemahan ekonomi, investor telah menyesuaikan ekspektasi mereka mengenai ukuran dan durasi kenaikan suku bunga terbatas Fed.
“Krisis mini perbankan ini telah meningkatkan peluang resesi dan mempercepat waktu perlambatan ekonomi. Wajar jika Fed harus memeriksa kembali tindakannya, tetapi masih sangat jelas bahwa sementara inflasi melambat, itu masih sangat memprihatinkan dan perlu dikendalikan,” ujar Oliver Pursche.
Sekilas, pasar keuangan memperkirakan kemungkinan 60,5 persen bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga target utamanya sebesar 25 basis poin, dan probabilitas 39,5 persen akan membiarkan suku bunga saat ini bertahan, menurut alat FedWatch CME.
Editor : Jeanny Aipassa
Follow Berita iNews di Google News